Tersisih

Siang panas sehabis dzuhur.
Randu tertidur dalam duduknya, berkasurkan
bangku dan berbantalkan meja belajar. Dia nampak
kelelahan karena semalaman suntuk harus mengisi
ratusan soal-soal yang berserakan di modul
matematikanya.
‘Ctakkk’
Benda keras menyentuh kepala Randu yang
tengah pulas tertidur. Untungnya penghapus itu terbuat
dari plastik. Randu hanya kaget, hingga terbangun.
“Randu! Kamu, malah tidur.”
Nadanya tinggi.
“Maaf, bu. Saya mengantuk. Semalam saya
bergadang.”
Randu melakukan justifikasi.
“Bergadang untuk apa kamu?! Nongkrong?
kerjaanya nongkrong mulu. mau naik kelas gak?!”
Nadanya penuh amarah.
“Saya habis mengerjakan semua tugas yang
diberikan ibu. Lihat bu.”
Ucap Randu sembari menunjukan modul
matematika dengan soal yang sudah terisi semua. Plus
rumus dan caranya.
Nada ibu yang belum menjadi ibu itu semakin
meninggi.

“Kalau kamu gak mau belajar dikelas saya, tak
apa. Silahkan keluar!!”
Randu jengah mendengar kalimat itu. Merasa
dipermalukan dihadapan teman sekelasnya, diapun
menyabet tasnya yang tergeletak diatas meja dengan
kasar. Berjalan melewati bangku-bangku tempat duduk
kawan-kawan yang tak membangunkanya. Menuju arah
pintu, menuju arah keluar.
“Assalamualaikum!”
Ucapnya dengan nada yang agak sinis. Sembari
menghamburkan badan keluar kelas matematika yang
memang kurang disukainya. Tidak, Randu tidak begitu.
Ada yang salah dengan Randu hari ini.
Bu Lili memang sangat jarang berlaku baik pada
Randu. Mungkin dulu ada kesalahan Randu yang
membuat hati Bu Lili terluka dan belum bisa memaafkan
Randu. Mungkin.
Randu terduduk dengan kaki bersila diatas kursi
kantin. Memakan sosis bakar buatan Teh Ati.
Kesukaanya.
“Attention please! Panggilan, Randu Grazie
Bentiyan. Sekali lagi, Randu Grazie Bentiyan. Untuk
teman-temanya yang melihat Randu Grazie Bentiyan,
tolong di kasih tahu. Randu Grazie Bentiyan, ditunggu di
meja piket sekarang!.”
Suara itu terdengar dari perangkat pengeras suara
yang berada disemua kelas, ruangan, koridor, bahkan
kantin. Yang berpusatnya berada di meja piket.
“Wanjir, gawat. Masalah apa ini. ah. Gawat.”

Randu mulai keringat dingin. Suara yang
memanggilnya tadi adalah suara dari bapak Wakasek
bidang kesiswaan.
Biasanya, setiap anak yang dipanggil dengan cara
dan bahasa yang tidak formal itu pasti akan berakhir
tragis. Seperti; mendapatkan surat peringatan, panggilan
orang tua, bimbingan konseling, bahkan drop out. Tetapi
Randu bukan pengecut. Randu selalu berfikir bahwa
masalah bukan musuh Randu, tapi masalah tengah
membuat Randu lebih dewasa. walaupun masalah itu ada
karena ulah dan perbuatan dirinya sendiri.
Randu berjalan menuju meja piket. Wajah sangar
Pak Una bagian kesiswaan terlihat sangat marah. Karena
memang biasanya yang berurusan dengan Pak Una
adalah siswa-siswi yang butuh perhatian lebih dari pihak
sekolah.
“Bapak manggil saya?”
Ucap Randu, sok polos.
“Kamu, Randu. Bisa ga’, kamu na’. Ga’ usah
bikin masalah? Satu hari saja’. Tidak usah bikin
masalah, Na’.”
Tungkas Pak Una yang membuat Randu merasa
tengah dihakimi tanpa adanya praduga tak bersalah.
Tentu dengan logat jawanya yang medok.
“Maaf pak, tapi salah saya apa?”
“Salah kamu apa? Kamu harus belajar mikir
na’, pake ota’. don’t think like a pig. Luruuus aja
mikirnya, nda’ bisa belo’. Kamu kenapa kabur dari
kelasnya bu Lili?”

“Saya enggak kabur pak, saya diusir. Beliau
yang bilang, kalau enggak mau belajar dikelasnya
silahkan keluar.”
“Na’, Sesalah-salahnya orang tua itu sebener-
benernya kamu. sesalah-salahnya guru, itu sebener-
benernya kamu. Bagaimanapun kamu tetap salah
dengan bertinda’ seperti itu.. Kamu salah, ya’ salah saja
sudah.”
Pak Una menimpali dengan telak pernyataan
Randu.
“Tapi Pak. Saya cuma kelelahan, terus ketiduran
pak. Itu juga gara-gara saya mengerjakan tugas dari
beliau, Pak. Bukankah ada cara yang lebih baik untuk
membangunkan seorang siswa yang kelelahan karena
mengerjakan tugas sekolahnya?”
Jawab Randu tegas.
Tak bisa dipungkiri. Randu memang salah, tapi
ucapanya ada betulnya juga.
“Tapi, apa cara kamu baik nak? Pergi
meninggalkan kelas tanpa seizin guru yang mengajar?”
Nadanya kembali meninggi.
“Pak, saya bukan tipikal siswa yang akan
tertidur ketika kegiatan belajar-mengajar sedang
berlangsung. Bapak tahu itu, bapak yang paling
mengenal saya.”
“Tapi, Randu yang saya kenal itu tidak begini.”
Jawabnya singkat. Tapi lumayan membuat Randu
terbuka fikirannya.

“Maaf, Pak. Saya gak akan ngulangin lagi.”
“Besok, kasih tahu orang tua kamu. di tunggu
Pak Una jam 9 di sekolah. Jangan sampai orang tua
kamu tidak datang. Kalo tidak, habis kamu, Nak. Sudah
sana masuk kelas, minta maaf sama Bu Lili.”
Hari ini hari yang cukup menyebalkan untuk
Randu. Tentu saja, sudah menjatuhkan diri sendiri dari
tangga, patah kaki, masih saja tertimpa oleh tangga~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teruntuk

Antariksa

Kemangi