Terpisah
Siang disekolah yang hangat kelewatan hangatnya.
Randu sedang duduk-duduk santai sambil
bermain gitar mengiringi kawan kawanya bernyanyi
dibawah pohon beringin di pojok samping lapangan.
“AYOO BANGUUUN DUNIA DIDALAM
PERBEDAAN. JIKA SATU TAMBAH SATU SAMA
DENGAN DU-A!!!!!!”
Mereka tertawa. Mereka bernyanyi. Berbahagia.
Randu memang sudah terbiasa menjadi pemain musik
pengiring Padus bandana (Paduan Suara Badan Bau
Kemana-mana). Mereka tak ada lelahnya dalam
bernyanyi. Randu yang berposisi sebagai pemain gitar
berdiri membelakangi lapangan, sedangkan kawan-
kawanya duduk-duduk menghadap ke lapangan. Seperti
konser.
Yang bisa menghentikan mereka? Bel masuk
kelas, atau teriakan Pak Una sang Kesiswaan yang
sangat ditakuti atau jepretan kamera paparazi sakti milik
Pak Muslim sang Kepala program keahlian jurusan
Rekayasa Perangkat Lunak.
Sebetulnya Pak Una tak perlu bereriak. Ketika
mereka mendengar suara deheman tenggorokan Pak Una
saja sudah cukup untuk membuat mereka kocar-kacir
bersih melarikan diri.
“Joy,ajoy. Kode kuning. Kode kuning”
Nadanya sedikit panik, mengisyaratkan sesuatu
yang berbahaya tengah mengancam mereka. Mirip
seperti kelinci yang langung berdiri telinganya ketika
mendengar suara kaki pemangsa telah datang. Ucap
salah satu karib randu berambut ikal yang diberi pomade
agar selalu klimis.
“Wedan. Bubar daks. Bubaaaar!!!”
Ucap pria yang jauh lebih tinggi dibanding
Randu. Keturunan Garut-Ambon asli.
Perlahan mereka undur diri. Kecuali, Randu.
Kekurangan Randu adalah, multi-tasking system di
otaknya buruk. Ketika dia fokus pada suatu hal, dia tidak
akan menyadari hal yang lain. Randu sendiri pun mulai
bingung kenapa kawan-kawanya meninggalkan Randu
sendirian dengan ke-sok polosan mereka.
“Mas, lagi apa, mas? Asik amat kayaknya.
Soalnya dari jauh kedengeranya berisik banget.”
Suara yang tak asing bagi Randu dan kawan-
kawanya. Nadanya sedikit menyindir.
“Eh, bapak. Hehe.”
Randu dan beberapa karibnya yang gagal kabur
melakukan sungkeman masal. Mencari empati.
“Ayo dong, lanjutin nyanyinya. Saya pengen
ikutan.”
Nadanya sangat jelas menyindir.
“Ini lagi, kamu. Randu. Kenapa gak pakai
sepatu?”
Lanjut Pak Muslim yang kumisan dan berkulit
sawo matang.
~
“Sia sih, Ran. Ngegitarnya kekencengan”
Ucap Dennis, kawan akrab Randu yang
keturunan Ambon-Garut asli.
“Lahh? Kok aing sih?” Kan sia semua yang
nyanyi. Aing kan cuman ngegitar. Hmmm”
“Ayo bangun dunia, didalam perbedaan. . . . .”
“Si Usrooo! Malah nyanyi. Kzl bat guee”
Namanya anak muda, kalau sudah hancur begini
akan saling menyalahkan. Nyanyian mereka pun harus
berakhir ditengah terik matahari siang bolong di
lapangan sekolah. Menghadap bendera sembari memberi
hormat. Hukuman yang klise, tapi selalu menjadi cerita
yang terkenang.
“Panggilan, Fixty Albar. Sekali lagi, Fixty.
Multimedia tingkat sebelas. Ditunggu di meja piket”
Suara yang keluar dari pengeras suara yang
terhubung ke seluruh ruangan disekolah.
Randu dan yang lainya melihat Fixty melintas
dihadapan mereka. Mereka kebingungan, kenapa Fixty
dipanggil. Ada masalah apa.
“Kamu kemarin mengeroyok Ikrar? Benar begitu
nak?”
Ucap Pak Una yang memulai introgasi. Fixty
terduduk. Ruang tamu sekolah sedikit ramai.
“Kita open fight pak. Satu lawan satu. Kalau
keroyokan itu, sayanya banyakan. Nonjokin Ikrar, dan
Ikrarnya enggak melawan. Tapi kenyataanya, saya juga
kena pukul pak. Dan itu saya anggap fair.”
Ikrar anak orang kaya. Kedua orang tua Ikrar
yang berbaju rapih dan kelihatan borju duduk
memandangi fixty dengan tatapan sinis. Fixty tak pernah
gentar. Selalu begitu. Memang selalu begitu.
“Tapi kata Ikrar, dia dikeroyok. Dan kenapa
kamu cuma satu bonyoknya, dia banyak sekali?”
Lanjutnya, terus menanyai Fixty.
“Itu gak bener, pak. Ya, berarti saya yang
menang di open fight kemarin.”
“Sudah. Besok orang tua kamu kesini, bawa
semua seragam kamu. Balikin semuanya. Kamu
dikeluarkan dari sekolah ini!”
“ Iya pak, siap. Tapi pak, maaf. Saya tidak
salah.”
Jawabnya, santai sekali.
“Oh iya Pak, saya bukan takut sama bapak, tapi
saya takut sama hukum yang melindungi bapak.”
Lanjutnya, disampaikan kepada orang tua Ikrar.
Sembari ter-se- nyum.
Terkadang memang terjadi, bentuk ke-tidak
adilan dari keseragaman. Yang sama dari mereka
hanyalah seragam. Perihal perlakuan, tergantung dari
siapa dia. Se-berandal apa. Se-nakal apa. Se-berprestasi
apa. Dan se-kaya apa orang tuanya. Itu potret yang
nyata. Yang ada di dunia yang semuanya terasa semu.
~
“Fix . . . .”
Randu mulai terisak. Randu itu cengeng kalau
perihal persahabatan.
“Apasiiiii, Ndu. Tenang ae siii ah, sia masih bisa
kerumah aing kan? Kita masih bisa nongkrong bareng.”
“Nanti sianya asik sama temen baru. Aing gak
suka.”
Randu menangis, Fixty tertawa. Tapi hatinya
menangis.
Persahabatan lebay mereka memang dimulai
semenjak menjadi siswa baru pada saat kelas satu dulu.
Mereka berpelukan, seakan tak ada hari esok untuk
jumpa kembali.
“Ambilin tas aing gih, aing malu mau ke
kelasnya juga.”
Ucap Fixty kepada Randu. Randu beranjak
menuju lantai tiga. Pergi ke kelasnya untuk mengambil
tas milik Fixty.
“Nih. Sia mau pulang sekarang? Gak balik
bareng? Tungguin di Si Umi warung aja atuh. Aing
pengen pulang bareng ama sia.”
Randu memohon kepada Fixty, setelah ia
memberikan tas milik kawannya itu.
“Udah ah. Aing mau pulang”
Jawab fixty, tegas. Lumayan merusak perasaan
Randu. Randu itu lebay, tapi lebaynya Randu dari hati.
~
Randu sedang duduk-duduk santai sambil
bermain gitar mengiringi kawan kawanya bernyanyi
dibawah pohon beringin di pojok samping lapangan.
“AYOO BANGUUUN DUNIA DIDALAM
PERBEDAAN. JIKA SATU TAMBAH SATU SAMA
DENGAN DU-A!!!!!!”
Mereka tertawa. Mereka bernyanyi. Berbahagia.
Randu memang sudah terbiasa menjadi pemain musik
pengiring Padus bandana (Paduan Suara Badan Bau
Kemana-mana). Mereka tak ada lelahnya dalam
bernyanyi. Randu yang berposisi sebagai pemain gitar
berdiri membelakangi lapangan, sedangkan kawan-
kawanya duduk-duduk menghadap ke lapangan. Seperti
konser.
Yang bisa menghentikan mereka? Bel masuk
kelas, atau teriakan Pak Una sang Kesiswaan yang
sangat ditakuti atau jepretan kamera paparazi sakti milik
Pak Muslim sang Kepala program keahlian jurusan
Rekayasa Perangkat Lunak.
Sebetulnya Pak Una tak perlu bereriak. Ketika
mereka mendengar suara deheman tenggorokan Pak Una
saja sudah cukup untuk membuat mereka kocar-kacir
bersih melarikan diri.
“Joy,ajoy. Kode kuning. Kode kuning”
Nadanya sedikit panik, mengisyaratkan sesuatu
yang berbahaya tengah mengancam mereka. Mirip
seperti kelinci yang langung berdiri telinganya ketika
mendengar suara kaki pemangsa telah datang. Ucap
salah satu karib randu berambut ikal yang diberi pomade
agar selalu klimis.
“Wedan. Bubar daks. Bubaaaar!!!”
Ucap pria yang jauh lebih tinggi dibanding
Randu. Keturunan Garut-Ambon asli.
Perlahan mereka undur diri. Kecuali, Randu.
Kekurangan Randu adalah, multi-tasking system di
otaknya buruk. Ketika dia fokus pada suatu hal, dia tidak
akan menyadari hal yang lain. Randu sendiri pun mulai
bingung kenapa kawan-kawanya meninggalkan Randu
sendirian dengan ke-sok polosan mereka.
“Mas, lagi apa, mas? Asik amat kayaknya.
Soalnya dari jauh kedengeranya berisik banget.”
Suara yang tak asing bagi Randu dan kawan-
kawanya. Nadanya sedikit menyindir.
“Eh, bapak. Hehe.”
Randu dan beberapa karibnya yang gagal kabur
melakukan sungkeman masal. Mencari empati.
“Ayo dong, lanjutin nyanyinya. Saya pengen
ikutan.”
Nadanya sangat jelas menyindir.
“Ini lagi, kamu. Randu. Kenapa gak pakai
sepatu?”
Lanjut Pak Muslim yang kumisan dan berkulit
sawo matang.
~
“Sia sih, Ran. Ngegitarnya kekencengan”
Ucap Dennis, kawan akrab Randu yang
keturunan Ambon-Garut asli.
“Lahh? Kok aing sih?” Kan sia semua yang
nyanyi. Aing kan cuman ngegitar. Hmmm”
“Ayo bangun dunia, didalam perbedaan. . . . .”
“Si Usrooo! Malah nyanyi. Kzl bat guee”
Namanya anak muda, kalau sudah hancur begini
akan saling menyalahkan. Nyanyian mereka pun harus
berakhir ditengah terik matahari siang bolong di
lapangan sekolah. Menghadap bendera sembari memberi
hormat. Hukuman yang klise, tapi selalu menjadi cerita
yang terkenang.
“Panggilan, Fixty Albar. Sekali lagi, Fixty.
Multimedia tingkat sebelas. Ditunggu di meja piket”
Suara yang keluar dari pengeras suara yang
terhubung ke seluruh ruangan disekolah.
Randu dan yang lainya melihat Fixty melintas
dihadapan mereka. Mereka kebingungan, kenapa Fixty
dipanggil. Ada masalah apa.
“Kamu kemarin mengeroyok Ikrar? Benar begitu
nak?”
Ucap Pak Una yang memulai introgasi. Fixty
terduduk. Ruang tamu sekolah sedikit ramai.
“Kita open fight pak. Satu lawan satu. Kalau
keroyokan itu, sayanya banyakan. Nonjokin Ikrar, dan
Ikrarnya enggak melawan. Tapi kenyataanya, saya juga
kena pukul pak. Dan itu saya anggap fair.”
Ikrar anak orang kaya. Kedua orang tua Ikrar
yang berbaju rapih dan kelihatan borju duduk
memandangi fixty dengan tatapan sinis. Fixty tak pernah
gentar. Selalu begitu. Memang selalu begitu.
“Tapi kata Ikrar, dia dikeroyok. Dan kenapa
kamu cuma satu bonyoknya, dia banyak sekali?”
Lanjutnya, terus menanyai Fixty.
“Itu gak bener, pak. Ya, berarti saya yang
menang di open fight kemarin.”
“Sudah. Besok orang tua kamu kesini, bawa
semua seragam kamu. Balikin semuanya. Kamu
dikeluarkan dari sekolah ini!”
“ Iya pak, siap. Tapi pak, maaf. Saya tidak
salah.”
Jawabnya, santai sekali.
“Oh iya Pak, saya bukan takut sama bapak, tapi
saya takut sama hukum yang melindungi bapak.”
Lanjutnya, disampaikan kepada orang tua Ikrar.
Sembari ter-se- nyum.
Terkadang memang terjadi, bentuk ke-tidak
adilan dari keseragaman. Yang sama dari mereka
hanyalah seragam. Perihal perlakuan, tergantung dari
siapa dia. Se-berandal apa. Se-nakal apa. Se-berprestasi
apa. Dan se-kaya apa orang tuanya. Itu potret yang
nyata. Yang ada di dunia yang semuanya terasa semu.
~
“Fix . . . .”
Randu mulai terisak. Randu itu cengeng kalau
perihal persahabatan.
“Apasiiiii, Ndu. Tenang ae siii ah, sia masih bisa
kerumah aing kan? Kita masih bisa nongkrong bareng.”
“Nanti sianya asik sama temen baru. Aing gak
suka.”
Randu menangis, Fixty tertawa. Tapi hatinya
menangis.
Persahabatan lebay mereka memang dimulai
semenjak menjadi siswa baru pada saat kelas satu dulu.
Mereka berpelukan, seakan tak ada hari esok untuk
jumpa kembali.
“Ambilin tas aing gih, aing malu mau ke
kelasnya juga.”
Ucap Fixty kepada Randu. Randu beranjak
menuju lantai tiga. Pergi ke kelasnya untuk mengambil
tas milik Fixty.
“Nih. Sia mau pulang sekarang? Gak balik
bareng? Tungguin di Si Umi warung aja atuh. Aing
pengen pulang bareng ama sia.”
Randu memohon kepada Fixty, setelah ia
memberikan tas milik kawannya itu.
“Udah ah. Aing mau pulang”
Jawab fixty, tegas. Lumayan merusak perasaan
Randu. Randu itu lebay, tapi lebaynya Randu dari hati.
~
Komentar
Posting Komentar