Sejenak
Hari minggu cerah, dirumah orang tua Randu.
Randu sedang bercermin sembari mengancingkan
busana muslim warna hitamnya. Mengacak-acak
rambutnya, dia berfikir bahwa dia terlihat lebih keren
jika rambutnya acak-acakan. Setelah selesai, Randu
mengeluarkan map berkas berisi surat-surat dan soal-soal
ujian dari tas sekolahnya. Dicarinya sesuatu, dia
menemukanya. Diambilnya selembar diantara lembaran
kertas itu. Ternyata surat panggilan orang tua.
Randu membacanya kembali, dengan seksama.
Dibawanya kertas itu keluar dari kamarnya. Berjalan
berlalu keluar rumah, kemudian membuka pintu rumah.
Berjalan cukup jauh. Berjalan ke tempat yang jarang
dikunjungi orang lain, tapi randu begitu sering
mengunjungi tempat itu. Ketika orang lain menghindari
tempat itu, randu begitu senang datang kesitu. Sampailah
Randu pada tempat yang ia tuju. Randu terduduk diatas
batu, menunjukan surat itu pada Ayah, Ibu, dan adiknya.
“Yah, Bun. Maaf, Aa dapet surat teguran lagi
dari sekolah. Kemarin Bu Lili dibikin nangis sama Aa.
Maaf yak Yah, Aa Cuma bikin malu. Maaf yak Bun, Aa
Cuma bikin kecewa”
Tak ada yang menjawab, semuanya diam.
Sepertinya mereka marah.
“Tapi gak sepenuhnya salah Aa kok Bun, Bu Lili
juga enggak salah. Dan Aa udah minta maaf kok. Persis
seperti apa yang selalu Bunda ajarin. Yah. Aa juga gak
kabur dari masalah kok, seperti yang ayah pesen dari
dulu”
Ucap Randu lirih, hampir menangis. Air matanya
sudah menumpuk dikelopak matanya.
“Bunda, dan Ayah kemarin diminta buat dateng
ke sekolah. Tapi Aa bilang, Kalo Bunda dan Ayah
sedang sibuk dan gak bisa dateng. Gapapa kan? Ini
suratnya.”
Randu menjelaskan sembari meletakan kertas itu.
Randu meletakan kertas itu diatas tanah
berumput sangat hijau. Terurus sepertinya.
Disekelilingnya dilindungi dan dihiasi oleh keramik
warna-warni. Diatas gundukan tanah berumput itu ada
batu marmer bertuliskan Djati Ariesandi, ayahanda
Randu. Neng Melati, ibunda Randu. Anggrek Sedjati,
Adik tercinta Randu.
Randu tertunduk, sangat lama. Matanya mulai
berair, bertetesan. Randu memeluk dengkulnya sendiri.
Alasan Randu tinggal bersama neneknya adalah, selain
dekat dengan sekolah SMKnya. Supaya Randu juga ada
yang memperhatikan. Karena, kini Randu tinggal
seorang diri. Se-ba- tang-ka- ra.
“Adek, Aa kangeeeen”
Randu berucap sembari menatap pusara adiknya.
Randu menangis. Terisak-isak.
Langkah kaki seseorang perlahan menghampiri
Randu. Kemudian menepuk halus pundak Randu.
“Ran, kata Mamah nanti kerumah yak. Tadi
kenapa gak pinjem motor dulu kerumah. Kan dari rumah
ke pemakaman lumayan jauh, Ran”
“Udah belum, kangen-kangenanya?”
Lanjut laki-laki yang 3 tahun lebih tua dari
Randu. Sembari tersenyum halus. Kemudian memeluk
Randu yang semakin kencang menangis. Randu
cengeng.
~
Diakhir tahun lalu, tepatnya tanggal 28 desember
2014. Orang tua dan adik Randu yang tengah
mengunjungi rumah Eyang disurabaya. Randu tak
diajak, karena ketahuan merokok. Sebenarnya itu sangat
menyebalkan. Tapi bagaimana lagi, Randu tetap tak
boleh ikut walaupun ia mengiba.
Setelah berkunjung ke rumah Eyang. Ayah, Ibu,
dan adik Randu akan pergi liburan akhir tahun ke
singaphore. Menggunakan pesawat Airbus type A320
maskapai penerbangan Air Asia yang lepas landas dari
bandara Juanda Surabaya menuju singaphore. Tapi
didalam penerbanganya, pesawat itu harus jatuh ke dasar
perairan selat sunda.
Dipastikan bahwa 155 orang penumpang,
termasuk keluarga Randu dan 7 crew pesawat meninggal
dalam kecelakaan yang disebabkan oleh kegagalan
system karena menabrak awan kumolonimbus. Hal itu
sangat menampar nalar dan fikiran Randu. Randu sempat
tak mau makan lebih dari satu minggu. lebih banyak
melamun. Dan lebih banyak lagi yang tak menyadari
bahwa Randu hampir tak pernah makan dan tidur.
Dihadapan keluarga besarnya, sebenarnya Randu sangat
dikagumi karena terlihat begitu tabah. Padahal hatinya
hancur. Tapi Randu sudah cukup dewasa untuk bisa
berpura-pura kuat ketika berhadapan dengan seluruh
anggota keluarga besarnya.
Ada banyak hal yang Randu sesalkan. Dan
kenapa dia tidak ikut, fikirnya. Randu berfikir, jika dia
ikut keluarganya mungkin akan terjadi hal berbeda dan
lain ceritanya. Sudah takdir tuhan, Randu tidak ikut. 3
hari selepas kejadian itu, Randu yang masih dirundung
duka.
Randu sempat juga menulis apa yang dia rasa.
Dia sempat menulis di buku bututnya. Ditulisnya begini;
Hujan itu jatuh tanpa disuruh
Awan mendung tak bisa dijadikan tempat berlindung
Pelangi akan datang, matahari akan terang.
Tapi,
Aku sendirian, takut kesepian.
-Randu-
Tulisan itu, sedikit luntur karena terkena air mata
Randu. Randu cengeng.
Semenjak kejadian itu, Randu memilih tinggal di
Bogor. Tempat kelahiran Nenek, Ibu, dan dirinya
sendiri. Selain dekat dengan sekolah barunya, Randu
nyaman berada disitu. Lebih hangat, dibanding dia harus
tinggal di Depok sendirian.
~
Randu masih menengadahkan tangannya kelangit
sembari berdoa pelan. Hampir tanpa suara.
“Hayu, pulang. Udah mau tengah hari. Kamu
gak laper apa?”
Ucap saudara sepupunya itu kepada Randu.
“Iya Mas, ayok pulang. Randu udah laper.
Hehehe.”
Randu bersembunyi dibalik senyumnya.
“Mau mas yang bawa motor, atau kamu?”
Tanya saudaranya kepada Randu.
“Mas saja, Abung lemes. Laper banget ini.
Hahaha.”
Abung adalah nama panggilan kecil Randu.
Seakan-akan tadi tak terjadi apa-apa. Seolah-olah
semuanya baik baik saja. Randu berbohong. Dosa kah
apa yang randu bohongkan?
Randu sedang bercermin sembari mengancingkan
busana muslim warna hitamnya. Mengacak-acak
rambutnya, dia berfikir bahwa dia terlihat lebih keren
jika rambutnya acak-acakan. Setelah selesai, Randu
mengeluarkan map berkas berisi surat-surat dan soal-soal
ujian dari tas sekolahnya. Dicarinya sesuatu, dia
menemukanya. Diambilnya selembar diantara lembaran
kertas itu. Ternyata surat panggilan orang tua.
Randu membacanya kembali, dengan seksama.
Dibawanya kertas itu keluar dari kamarnya. Berjalan
berlalu keluar rumah, kemudian membuka pintu rumah.
Berjalan cukup jauh. Berjalan ke tempat yang jarang
dikunjungi orang lain, tapi randu begitu sering
mengunjungi tempat itu. Ketika orang lain menghindari
tempat itu, randu begitu senang datang kesitu. Sampailah
Randu pada tempat yang ia tuju. Randu terduduk diatas
batu, menunjukan surat itu pada Ayah, Ibu, dan adiknya.
“Yah, Bun. Maaf, Aa dapet surat teguran lagi
dari sekolah. Kemarin Bu Lili dibikin nangis sama Aa.
Maaf yak Yah, Aa Cuma bikin malu. Maaf yak Bun, Aa
Cuma bikin kecewa”
Tak ada yang menjawab, semuanya diam.
Sepertinya mereka marah.
“Tapi gak sepenuhnya salah Aa kok Bun, Bu Lili
juga enggak salah. Dan Aa udah minta maaf kok. Persis
seperti apa yang selalu Bunda ajarin. Yah. Aa juga gak
kabur dari masalah kok, seperti yang ayah pesen dari
dulu”
Ucap Randu lirih, hampir menangis. Air matanya
sudah menumpuk dikelopak matanya.
“Bunda, dan Ayah kemarin diminta buat dateng
ke sekolah. Tapi Aa bilang, Kalo Bunda dan Ayah
sedang sibuk dan gak bisa dateng. Gapapa kan? Ini
suratnya.”
Randu menjelaskan sembari meletakan kertas itu.
Randu meletakan kertas itu diatas tanah
berumput sangat hijau. Terurus sepertinya.
Disekelilingnya dilindungi dan dihiasi oleh keramik
warna-warni. Diatas gundukan tanah berumput itu ada
batu marmer bertuliskan Djati Ariesandi, ayahanda
Randu. Neng Melati, ibunda Randu. Anggrek Sedjati,
Adik tercinta Randu.
Randu tertunduk, sangat lama. Matanya mulai
berair, bertetesan. Randu memeluk dengkulnya sendiri.
Alasan Randu tinggal bersama neneknya adalah, selain
dekat dengan sekolah SMKnya. Supaya Randu juga ada
yang memperhatikan. Karena, kini Randu tinggal
seorang diri. Se-ba- tang-ka- ra.
“Adek, Aa kangeeeen”
Randu berucap sembari menatap pusara adiknya.
Randu menangis. Terisak-isak.
Langkah kaki seseorang perlahan menghampiri
Randu. Kemudian menepuk halus pundak Randu.
“Ran, kata Mamah nanti kerumah yak. Tadi
kenapa gak pinjem motor dulu kerumah. Kan dari rumah
ke pemakaman lumayan jauh, Ran”
“Udah belum, kangen-kangenanya?”
Lanjut laki-laki yang 3 tahun lebih tua dari
Randu. Sembari tersenyum halus. Kemudian memeluk
Randu yang semakin kencang menangis. Randu
cengeng.
~
Diakhir tahun lalu, tepatnya tanggal 28 desember
2014. Orang tua dan adik Randu yang tengah
mengunjungi rumah Eyang disurabaya. Randu tak
diajak, karena ketahuan merokok. Sebenarnya itu sangat
menyebalkan. Tapi bagaimana lagi, Randu tetap tak
boleh ikut walaupun ia mengiba.
Setelah berkunjung ke rumah Eyang. Ayah, Ibu,
dan adik Randu akan pergi liburan akhir tahun ke
singaphore. Menggunakan pesawat Airbus type A320
maskapai penerbangan Air Asia yang lepas landas dari
bandara Juanda Surabaya menuju singaphore. Tapi
didalam penerbanganya, pesawat itu harus jatuh ke dasar
perairan selat sunda.
Dipastikan bahwa 155 orang penumpang,
termasuk keluarga Randu dan 7 crew pesawat meninggal
dalam kecelakaan yang disebabkan oleh kegagalan
system karena menabrak awan kumolonimbus. Hal itu
sangat menampar nalar dan fikiran Randu. Randu sempat
tak mau makan lebih dari satu minggu. lebih banyak
melamun. Dan lebih banyak lagi yang tak menyadari
bahwa Randu hampir tak pernah makan dan tidur.
Dihadapan keluarga besarnya, sebenarnya Randu sangat
dikagumi karena terlihat begitu tabah. Padahal hatinya
hancur. Tapi Randu sudah cukup dewasa untuk bisa
berpura-pura kuat ketika berhadapan dengan seluruh
anggota keluarga besarnya.
Ada banyak hal yang Randu sesalkan. Dan
kenapa dia tidak ikut, fikirnya. Randu berfikir, jika dia
ikut keluarganya mungkin akan terjadi hal berbeda dan
lain ceritanya. Sudah takdir tuhan, Randu tidak ikut. 3
hari selepas kejadian itu, Randu yang masih dirundung
duka.
Randu sempat juga menulis apa yang dia rasa.
Dia sempat menulis di buku bututnya. Ditulisnya begini;
Hujan itu jatuh tanpa disuruh
Awan mendung tak bisa dijadikan tempat berlindung
Pelangi akan datang, matahari akan terang.
Tapi,
Aku sendirian, takut kesepian.
-Randu-
Tulisan itu, sedikit luntur karena terkena air mata
Randu. Randu cengeng.
Semenjak kejadian itu, Randu memilih tinggal di
Bogor. Tempat kelahiran Nenek, Ibu, dan dirinya
sendiri. Selain dekat dengan sekolah barunya, Randu
nyaman berada disitu. Lebih hangat, dibanding dia harus
tinggal di Depok sendirian.
~
Randu masih menengadahkan tangannya kelangit
sembari berdoa pelan. Hampir tanpa suara.
“Hayu, pulang. Udah mau tengah hari. Kamu
gak laper apa?”
Ucap saudara sepupunya itu kepada Randu.
“Iya Mas, ayok pulang. Randu udah laper.
Hehehe.”
Randu bersembunyi dibalik senyumnya.
“Mau mas yang bawa motor, atau kamu?”
Tanya saudaranya kepada Randu.
“Mas saja, Abung lemes. Laper banget ini.
Hahaha.”
Abung adalah nama panggilan kecil Randu.
Seakan-akan tadi tak terjadi apa-apa. Seolah-olah
semuanya baik baik saja. Randu berbohong. Dosa kah
apa yang randu bohongkan?
halo kak, udah ga aplut lagi? dua tahun ini sajaknya hilang kemana?
BalasHapus