Payung
Pagi hujan di kota hujan.
Seseorang berdiri dibawah bangunan bertiang
bambu dan beratapkan seng di pinggir jalan. Menunggu
hujan reda, untuk masuk berjalan ke gang sekolahanya.
'Hujan . . .’
Baru kali ini dia kurang menyukai hujan.
“Mana gak bawa payung lagi. argh”
Mulai kesal. Bukan pada hujan, tapi pada dirinya
sediri. Kenapa dipagi semendung tadi dia tidak
membawa payung. Memang dia tidak pernah mau bawa
payung. Terlalu feminim katanya. Ditambah, banyaknya
orang yang berpasang-pasangan dibawah payung,
dibawah hujan, berjalan beriringan menuju sekolah. Itu
cukup membuatnya jengah.
Seseorang baru saja turun dari angkot jurusan
cisarua-sukasari. Di pintu keluar-masuk angkot dia
membuka lipatan benda berwarna totol hitam-putih. Alat
penahan rintik hujan. Melangkahkan kakinya dengan
mantap diatas aspal becek, berjalan mengarah pada pria
kesepian ditengah hujan.
“Bareng gak kak, 2 menit lagi telat.”
Sembari menoleh kearah pria berjaket jeans lusuh
itu.
“Eh? Um. Saya?”
Celingukan.
“Bukan, itu tukang ojek disebrang.”
jawabnya nyinyir.
“Oh. Maaf. Saya fikir kamu nawarin ke saya.
Hehe.”
Imbuhnya sembari nyengir konyol.
“Udah kak, ayok bareng. Kita udah telat juga
ih.”
Sembari menarik lengan jaket jeans si pria yang
kesepian di tengah hujan tadi berjalan menjauh dari
tempat berteduhnya. Sepayung berdua. Hujan kali ini
punya cerita special.
Sepanjang jalan, tak ada satupun kata keluar dari
dua orang yang berjalan sepayung itu. Canggung.
“Saya suka godain cewek-cewek cantik, tapi saya
gak pernah lihat kamu?”
Membuka obrolan.
“Saya siswi pindahan, jadinya belum kena
godaan kakak. Haha”
Jawabnya sembari tersenyum yang ditutup
dengan tawa.
“Pasti telat inimah”
lanjutnya.
“Kamu orang Sunda? Asli mana memang?”
“Oh, aku orang Sukabumi. Kakak memang asli
mana?.”
“Eng. Iam sundanesse, tapi saya tumbuh besar
didepok. Hanya sesekali mendengar bahasa Sunda..”
“Lha? Terus kakak gak bisa sunda? Sunda lupa
diri inimah. Haha”
Ledeknya. Mulai seru obrolanya.
“Um, gak begitu. Saya selalu bangga atas
kesundaan saya. Hanya saja, belajar bahasa itu butuh
praktik. Dan saya belum punya teman praktik.”
“ooooh, gitu. Pantesan. Eh, kak. Lari yok. biar
enggak terlalu telat.”
Dengan cepat pembicaraan yang serupun harus
dihentikan oleh lari-lari kecil penuh tawa. Baju mereka
berdua sedikit basah terkena hujan..
Dibawah awan abu-abu yang tengah
mengguyurkan air ke bumi. Mereka sampai ke pelataran
sekolah. Masih belum terlalu ramai, masih sepi.
“Umm, eh. Makasih yak, Dek”
ucapnya canggung.
“Iya kak sama-sama, saya ke front office dulu”
Jawabnya sembari berlalu.
Mereka berjalan ke arah yang berbeda. langkah si
pria terhenti ketika jarak mereka sudah cukup jauh.
“Hoooii, Dek. Nama saya Randu. Kamu siapa?
Dia tak menjawab. Bahkan tak menoleh.
Mungkin gadis itu tak mendengar suara laki-laki berjaket
jeans lusuh tadi. Sedikit kecewa, banyak senangnya.
Setidaknya sang hujan mempertemukan dia dengan
kawan baru yang menyenangkan. Hujan selalu punya
cerita. Memberikan basah, hangat, dingin, ataupun sedih
dengan porsi yang berbeda-beda~
Seseorang berdiri dibawah bangunan bertiang
bambu dan beratapkan seng di pinggir jalan. Menunggu
hujan reda, untuk masuk berjalan ke gang sekolahanya.
'Hujan . . .’
Baru kali ini dia kurang menyukai hujan.
“Mana gak bawa payung lagi. argh”
Mulai kesal. Bukan pada hujan, tapi pada dirinya
sediri. Kenapa dipagi semendung tadi dia tidak
membawa payung. Memang dia tidak pernah mau bawa
payung. Terlalu feminim katanya. Ditambah, banyaknya
orang yang berpasang-pasangan dibawah payung,
dibawah hujan, berjalan beriringan menuju sekolah. Itu
cukup membuatnya jengah.
Seseorang baru saja turun dari angkot jurusan
cisarua-sukasari. Di pintu keluar-masuk angkot dia
membuka lipatan benda berwarna totol hitam-putih. Alat
penahan rintik hujan. Melangkahkan kakinya dengan
mantap diatas aspal becek, berjalan mengarah pada pria
kesepian ditengah hujan.
“Bareng gak kak, 2 menit lagi telat.”
Sembari menoleh kearah pria berjaket jeans lusuh
itu.
“Eh? Um. Saya?”
Celingukan.
“Bukan, itu tukang ojek disebrang.”
jawabnya nyinyir.
“Oh. Maaf. Saya fikir kamu nawarin ke saya.
Hehe.”
Imbuhnya sembari nyengir konyol.
“Udah kak, ayok bareng. Kita udah telat juga
ih.”
Sembari menarik lengan jaket jeans si pria yang
kesepian di tengah hujan tadi berjalan menjauh dari
tempat berteduhnya. Sepayung berdua. Hujan kali ini
punya cerita special.
Sepanjang jalan, tak ada satupun kata keluar dari
dua orang yang berjalan sepayung itu. Canggung.
“Saya suka godain cewek-cewek cantik, tapi saya
gak pernah lihat kamu?”
Membuka obrolan.
“Saya siswi pindahan, jadinya belum kena
godaan kakak. Haha”
Jawabnya sembari tersenyum yang ditutup
dengan tawa.
“Pasti telat inimah”
lanjutnya.
“Kamu orang Sunda? Asli mana memang?”
“Oh, aku orang Sukabumi. Kakak memang asli
mana?.”
“Eng. Iam sundanesse, tapi saya tumbuh besar
didepok. Hanya sesekali mendengar bahasa Sunda..”
“Lha? Terus kakak gak bisa sunda? Sunda lupa
diri inimah. Haha”
Ledeknya. Mulai seru obrolanya.
“Um, gak begitu. Saya selalu bangga atas
kesundaan saya. Hanya saja, belajar bahasa itu butuh
praktik. Dan saya belum punya teman praktik.”
“ooooh, gitu. Pantesan. Eh, kak. Lari yok. biar
enggak terlalu telat.”
Dengan cepat pembicaraan yang serupun harus
dihentikan oleh lari-lari kecil penuh tawa. Baju mereka
berdua sedikit basah terkena hujan..
Dibawah awan abu-abu yang tengah
mengguyurkan air ke bumi. Mereka sampai ke pelataran
sekolah. Masih belum terlalu ramai, masih sepi.
“Umm, eh. Makasih yak, Dek”
ucapnya canggung.
“Iya kak sama-sama, saya ke front office dulu”
Jawabnya sembari berlalu.
Mereka berjalan ke arah yang berbeda. langkah si
pria terhenti ketika jarak mereka sudah cukup jauh.
“Hoooii, Dek. Nama saya Randu. Kamu siapa?
Dia tak menjawab. Bahkan tak menoleh.
Mungkin gadis itu tak mendengar suara laki-laki berjaket
jeans lusuh tadi. Sedikit kecewa, banyak senangnya.
Setidaknya sang hujan mempertemukan dia dengan
kawan baru yang menyenangkan. Hujan selalu punya
cerita. Memberikan basah, hangat, dingin, ataupun sedih
dengan porsi yang berbeda-beda~
Komentar
Posting Komentar